Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 8)

Majelis ilmu dan seruan dakwah melekat dalam kehidupan kaum muslimin di era modern ini. Di masa lalu, masyarakat diikat dengan pertalian surau, masjid, ataupun juga majelis wirid. Koneksi masyarakat tersebut sempat bergeser di masa-masa setelahnya. Namun, di masa kini, kita mendapati bahwa majelis ilmu telah menjadi pertalian baru di komunitas muslim, baik pedesaan maupun perkotaan.

Konsekuensi dari hal ini adalah interaksi di antara sesama teman majelis menjadi meningkat dan tidak terelakkan di setiap harinya. Minimal bertemu di setiap majelis pekanan, juga sebagian jadi terhubung dalam pekerjaan dan aktivitas hobi. Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menakdirkan ini semua.

Akan tetapi, sebagaimana yang sudah dijabarkan sebelumnya, seringnya interaksi meningkatkan potensi perselisihan. Allah ﷻ berfirman,

وَاِنَّ كَثِيۡرًا مِّنَ الۡخُلَـطَآءِ لَيَبۡغِىۡ بَعۡضُهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيۡلٌ مَّا هُمۡ​ ؕ

“Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” (QS. Shad: 24)

Ketika berselisih, tentu pertemuan akan canggung dan jadi tak nyaman. Malah justru setelah berselisih, pertemuan akan memicu hal-hal yang diluar kendali. Seringnya, karena kezaliman manusia, kita menjadi tidak objektif dalam menilai orang yang menyelisihi kita. Sehingga semua tindak-tanduknya menjadi salah. Padahal, ketika hasrat amarah tidak lagi menguasai, hal-hal tersebut bukanlah bentuk kesalahan. Maka, salah satu praktik para salaf shalih saat berselisih adalah menjauhi hal-hal pemicu perselisihan. Tujuannya adalah agar meredam emosi, membiarkan pikiran jernih, lalu mengurainya dengan pikiran yang rasional. Berikut kami sebutkan beberapa contoh keteladanan tersebut.

Kisah perselisihan Abu Dzar dan Muawiyah

Al-Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Aku melewati daerah ar-Rabdzah, ternyata di sana ada Abu Dzar. Aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu tinggal di tempat ini?’

Ia menjawab, ‘Aku pernah berada di Syam, lalu aku dan Mu‘awiyah radhiyallahu ‘anhuma berbeda pendapat tentang ayat, (وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ)—“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak.” Mu‘awiyah berkata, ‘Ayat ini turun tentang Ahli Kitab.’ Aku berkata, ‘Ayat ini turun tentang kita dan tentang mereka.’ Maka terjadilah perdebatan antara aku dan dia, lalu ia menulis surat kepada ‘Utsman mengadukan aku. ‘Utsman pun menulis surat kepadaku agar aku datang ke Madinah. Aku pun datang, dan orang-orang banyak mendatangiku hingga seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya. Aku ceritakan hal itu kepada ‘Utsman, maka ia berkata, ‘Kalau engkau mau, menyisihlah dan tinggallah di tempat yang dekat.’ Itulah sebabnya aku berada di tempat ini.’” (HR. Bukhari no. 1406)

Ibnu Katsir berkata, “Di antara pendapat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah haramnya menyimpan harta yang lebih dari kebutuhan nafkah keluarga. Beliau berfatwa demikian, menganjurkan hal itu kepada orang-orang, memerintahkan mereka, dan bersikap keras terhadap yang menyelisihinya. Mu‘awiyah melarang beliau, namun beliau tidak berhenti. Mu‘awiyah khawatir hal itu akan memberatkan masyarakat, lalu ia menulis surat mengadukan beliau kepada Amirul Mukminin ‘Utsman agar membawanya ke Madinah. ‘Utsman pun memanggil beliau ke Madinah dan menempatkannya di ar-Rabdzah seorang diri. Di sanalah beliau wafat radhiyallahu Ta‘ala ‘anhu pada masa kekhalifahan ‘Utsman.” [1]

Kebijaksanaan Utsman dan juga Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma dalam menyikapi Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah dengan memisahkan diri mereka dari Abu Dzar. Bukan dalam rangka mengusir atau membenci, melainkan agar keadaan menjadi mereda, serta masyarakat menjadi tenteram. Abu Dzar begitu bersikukuh dengan pendapatnya, sehingga beliau menyerukan kepada masyarakat dan hal ini menyelisihi pandangan pemerintahan. Pemerintahan yang diampu Utsman dan Muawiyah di wilayah tersebut berpandangan bahwa interpretasi tersebut dapat memberatkan masyarakat. Oleh karena itu, agar perselisihan tidak meruncing, maka Abu Dzar diminta untuk menempati daerah lain.

Betapa mulianya akhlak Abu Dzar, ia tak mencela keputusan itu, tetapi langsung menuruti untuk berjarak dengan Muawiyah. Ini adalah kematangan ilmu dan emosi dari seorang Abu Dzar, meskipun ia kokoh dengan pendapatnya. Adapun Muawiyah juga hanya mencukupkan diri dengan berkorespondensi dengan atasannya, yakni Utsman. Muawiyah tidak melakukan satu manuver politik kepada Abu Dzar melainkan apa yang sesuai dengan ketatanegaraan di masa tersebut. Inilah wajah kemuliaan ilmu yang melahirkan perdamaian dan meredam perselisihan.

Maka, menjauhi orang yang menjadi lawan berselisih adalah hal yang diteladankan oleh para salaf. Meskipun mereka semua secara kolektif adalah komunitas yang saleh, tetapi metode ini terus dijalankan. Bukan dalam rangka menegaskan eksklusifitas, tetapi dalam upaya menjaga agar hubungan tetap terjaga dengan baik, tidak dinodai oleh ekspektasi yang rusak.

Kisah perselisihan Ali dan Fatimah

Sahabat Sahl bin Sa’d menuturkan bahwa, Rasulullah ﷺ datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mendapati ‘Ali di dalam rumah.

Rasulullah bertanya, “Di mana putra pamanmu?”

Fathimah menjawab, “Tadi terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu dia marah kepadaku dan keluar sehingga dia tidak istirahat siang di sisiku.”

Rasulullah berkata kepada seseorang, “Carilah di mana ‘Ali!”

Orang itu datang kembali lalu berkata, “Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di dalam masjid.”

Rasulullah ﷺ datang ketika ‘Ali sedang berbaring dalam keadaan pakaian bagian atasnya jatuh dari sisi tubuhnya sehingga turab (tanah) menempel ke tubuhnya.

Rasulullah ﷺ menyeka tanah itu dari tubuh ‘Ali sembari berkata, “Bangun, wahai Abu Turab! Bangun, wahai Abu Turab!” (HR. Bukhari no. 441)

Dalam kisah ini, Ali radhiyallahu ‘anhu keluar rumah sejenak menghindari istrinya, yakni Fatimah. Beliau melakukannya untuk menenangkan hatinya. Hal ini ditunjukkan Ali yang tiduran di masjid hingga berdebu bajunya. Seorang Ali tidak memperkeruh suasana dengan ikut marah, padahal sebagai suami ia bisa saja melakukan itu. Namun, kecintaannya pada Fatimah dan ayahnya Fatimah, tentu meredam amarah tersebut. Ali lebih memilih menjauh dan mengalah dalam konteks ini.

Meredam perselisihan dengan mengingat kekerabatan

Dalam kisah ini, terselip juga faidah yang begitu indah sebagaimana diutarakan oleh Syaikh Saad Al-Khatslan hafizhahullah [2],

استعطاف الشخص على غيره بذكر ما بينهما من القرابة، ولذلك

“Upaya melunakkan hati seseorang terhadap orang lain dengan menyebutkan hubungan kekerabatan di antara mereka.”

Karena itu, ketika Nabi ﷺ datang ke rumah Fathimah dan tidak mendapati ‘Ali, beliau berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Di mana anak pamanmu?” Beliau tidak mengatakan, “Di mana suamimu?” atau “Di mana ‘Ali?”, tetapi memilih ungkapan “anak pamanmu”.

فاختار هذه العبارة؛ لأنه عليه الصلاة والسلام قد فهم ما جرى بينهما، فأراد استعطاف ابنته فاطمة على زوجها عليٍّ بذكر القرابة النَّسَبية التي بينهما، فكأنه يقول: هو زوجكِ وابن عمك، فينبغي ألا يكون بينكما هذه المغاضبة،

Beliau ﷺ memilih kalimat itu karena memahami apa yang terjadi antara keduanya, sehingga beliau ingin melunakkan hati putrinya Fathimah terhadap suaminya ‘Ali dengan menyebut hubungan nasab yang mengikat keduanya. Seakan-akan beliau berkata, “Dia itu suamimu sekaligus anak pamanmu, maka seharusnya tidak ada perselisihan di antara kalian berdua.” [3]

Tujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaran

Saat berselisih, fokus utama adalah mencari kebenaran. Jika hal ini telah tercapai, maka sudah tidak diperlukan perdebatan panjang lebar. Jika sudah jelas kebenaran itu dan sudah disampaikan, maka sudah cukuplah urusan dan kewajiban kita. Tidak diperlukan lagi diskusi tambahan apalagi memperpanjang perdebatan.

Lihatlah kembali kisah Abu Dzar. Meski Abu Dzar berpegang teguh dengan pendapatnya, tetapi Abu Dzar tidak memperpanjang debat dan tetap menaati Utsman. Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim menukilkan dalam tafsirnya [4],

ولـ ابن جرير في رواية بعد قول عثمان له: تنح قريباً، قلت: والله لن أدع ما كنت أقول، فأثبت عليه

Dalam riwayat Ibnu Jarir, setelah perkataan ‘Utsman kepadanya, “Menyisihlah dekat-dekat sini.” Abu Dzar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku katakan.” Maka beliau tetap teguh di atas pendapatnya.

يقول أبو ذر: ولو أمر عليّ عبد حبشي لسمعت وأطعت

Abu Dzar berkata, “Sekiranya orang yang memimpin atasku adalah seorang budak Habsyi, niscaya aku akan mendengar dan taat.”

Begitupula Utsman dan Muawiyah menghargai pendapat Abu Dzar tanpa lanjut mencela pendapatnya. [5]

Beralih sejenak adalah cara mengelola emosi

Upaya para salaf beralih sejenak dari masalah adalah cara yang berselarasan dengan metode para psikolog modern. Pada sebuah paparan yang disampaikan oleh psikoterapis ternama, Hillary Hendel dan DR. Juli Fraga, rasa amarah yang muncul saat berselisih tidak ditujukan untuk dipendam, melainkan harus dikelola.[6]

Dalam kajian psikologi tersebut, seorang yang marah harus mengidentifikasi alasan serta keadaan mentalnya. Rasa marah itu bisa muncul tidak hanya atas isu perselisihan yang terjadi, bisa saja terdapat faktor perasaan submisif atas sosok dominan, atau hal lainnya. Begitupula penting untuk mengidentifikasi kondisi pribadi, semisal sedang tertekan, juga kemampuan untuk menimbang faktor lainnya.

Tahap ini hanya bisa dilakukan dalam proses menjauhi titik permasalahan, melakukan perenungan mendalam tanpa intervensi besar dari luar. Meninjau kedalaman diri dalam permasalahan yang dihadapi serta hubungan dengan pihak terkait. Bahkan di antara tahapan dalam mengelola amarah adalah menginternalisasi perasaan tersebut dan memvisualisasi keadaan ketika kita menyampaikan amarah itu kepada pihak terkait.

Diam bukan berarti memendam amarah

Perintah berpaling dari orang bodoh saat berselisih bukan berarti diam saja ketika menghadapi perselisihan. Studi psikologi modern menunjukkan bahwa amarah yang tertahan bisa berdampak pada kesehatan fisik. Ketika hal ini memudaratkan fisik, maka wajib bagi kita untuk meregulasi emosi dan perselisihan yang memicu amarah agar meringankan dampak buruknya.

Salah satu dari bentuk itu adalah mengutarakan apa yang menjadi titik perselisihan, ketidaksetujuan, maupun hal yang secara emosional tidak kita sukai. Upaya menjauhi perselisihan ini akan meredakan amarah dan mematangkan pikiran. Namun, jangan berhenti pada tahap ini saja, melainkan harus dilanjutkan kepada tahap penyampaian hal yang menjadi perhatian.

Setelah dipertimbangkan ketika beralih sejenak tersebut, apabila dampaknya positif, maka seorang harus menyampaikan perhatiannya. Hal ini bertujuan agar terang apa yang menjadi titk permasalahan, juga dalam rangka meneguhkan tiang pancang batasan dalam berselisih.

Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari beragam perselisihan, meneguhkan persatuan, serta melapangkan hati kita semua.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 7

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah.

[2] https://saadalkhathlan.com/scientific-series/lessons/1324

[3] Keterangan ini juga disebutkan dari Al-Karmani dalam “Al-Kawakib Al-Durari fi Syarhi Shahih Al-Bukhari”.

[4] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah.

[5] Adab Ikhtilaf Para Sahabat, hal. 358; cet. Pustaka Al-Kautsar.

[6] Pembahasan dari perspektif psikologi ini disandarkan pada artikel berikut: Artikel tersebut bersandar pada sebuah buku berjudul “Parents Have Feeling, Too”.


News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door

Download Film

Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.