Argumentasi Atas Tuduhan bahwa Syariat Islam Itu Kejam

Syariat Islam memiliki ragam bentuk pengaplikasian dalam merespon kondisi umat. Mulai dari himbauan penuh kelembutan hingga hukuman yang bersifat tegas. Semua bentuk syariat ini memiliki hikmah untuk perbaikan umat manusia. Imam Al ‘Izz bin Abdissalam Tuhan memberkati dikatakan,

Hukum Syariah adalah tentang kepentingan; Entah untuk menangkal mara bahaya, atau mendatangkan manfaat

“Sesungguhnya seluruh syariat itu untuk tujuan maslahat, baik dalam bentuk penolakan mafsadat (keburukan) ataupun meraih mashlahat (kebaikan).” (Al-Qawaid, 1:9; di dalam Ushul Dakwah, hal. 301) [1]

Dakwah yang mengandung ilmu yang jelas dan penyampaian yang lemah lembut dimaksudkan untuk mengajak manusia ke jalan kebaikan. Namun, fokus Islam tidak hanya pada dakwah yang lembut. Dalam Islam, hangatnya dakwah diiringi dengan ketatnya sistem hukumnya.

Hukum membiarkan [2] dan ta’zir yang ditetapkan dalam konteks syariat Islam, pada perspektif sebagian orang di masa kini terkesan keras sekali. Hal ini karena penilaiannya ditinjau pada bentuk hukumannya yang fisikal, seperti potong tangan bahkan penyembelihan. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis akan menguraikan perspektif lain dari penegakan hukuman -khususnya membiarkan- dalam Islam yang mendatangkan keberkahan dalam amalan.

Mengambil hikmah penegakan hukuman membiarkan dari Maiz bin Malik

Salah satu sahabat yang terjerumus dalam dosa besar adalah Maiz bin Malik semoga Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian. Ia pernah berzina dengan salah satu wanita asuhan Hazzal Al-Aslami semoga Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian. Maiz sangat bingung dengan dosa yang dilakukannya ketika seluruh umat Islam berjihad. Akhirnya dia melapor kepada Hazzal Rabb, kemudian Hazzal menyarankan untuk mencari solusi kepada Nabi ﷺ. Akhirnya, setelah Nabi ﷺ berusaha berpaling dari kesaksian itu, Rasulullah dengan sengaja menjatuhkan hukuman tersebut membiarkan atasnya.

Pada malam hari setelah hukum membiarkan didirikan kepada Maiz, Rasulullah ﷺ berkhotbah di hadapan kaum muslimin tentang hikmah kejadian ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya: Atau ketika kita berangkat sebagai pejuang di jalan Allah, di antara anak-anak kita ada laki-laki yang moncongnya seperti kambing, tetap tinggal!! Aku tidak boleh mendatangkan orang yang melakukan hal itu kecuali aku akan menghukumnya.

Rasulullah ﷺ berkata dalam khotbahnya, “Mengapa ketika kami berangkat berjihad di jalan Allah, salah seorang dari kalian ada yang tidak ikut berangkat dan bersama keluarga kami, ia memiliki desahan seperti kambing jantan (saat kawin). Maka tidaklah kalian menghadapkan kepadaku orang yang melakukan perbuatan itu melainkan aku akan memberinya sanksi.” (HR. Muslim no. 1694, terjemahan disandarkan kepada “Nabi Yang Maha Penyayang” cet. Al-Kautsar, hal. 212)

Isi khotbah beliau mengajak umat untuk menyelaraskan akal dan perasaan. Bagaimana jika dalam keadaan seluruh orang berjuang, tetapi ada salah satu dari kelompok tersebut yang berkhianat, yakni berzina dengan salah satu keluarga pejuang tersebut? Hal ini yang menjadi konteks Maiz saat berzina. Pada saat itu, orang-orang keluar berperang sementara Maiz berzina dengan budaknya Hazzal. [3]

Kebijaksanaan yang lebih besar: Mencegah penyebaran kejahatan

Maka, bayangkanlah keburukan yang dapat tersebar dengan tidak ditegakkannya hukuman biarkan aku Sebuah momen perjuangan di jalan Allah ﷻ yang mulia dimanfaatkan oleh seseorang untuk berkhianat bermaksiat kepada Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ jelaskan bahwa hal ini bisa terjadi kepada siapa saja. Bahkan korbannya pun bisa siapa saja dan dari keluarga siapapun. Tentu seorang manusia yang berakal akan marah jika keluarganya dinodai!

Saat seseorang berzina, ia telah menodai kehormatan banyak pihak. Ia telah kehilangan akal kemanusiaannya, sehingga sudah berlaku layaknya hewan. Karena itulah, permisalan Nabi ﷺ dalam khotbah tersebut adalah “layaknya desahan kambing”. Selain karena ketepatan permisalan, juga karena hinanya perilaku tersebut.

Hukuman membiarkan ditegakkan juga agar terjaga keadilan yang lebih luas. Saat seseorang berzina, ia telah menodai kehormatan banyak pihak. Jika tidak dihukum, maka betapa banyak hak orang yang tidak ditegakkan? Belum lagi dampaknya ketika hukum membiarkan tidak ditegakkan karena alasan pelakunya sudah tobat, misalnya, maka orang-orang akan menyepelekan perkara ini. Akan muncul pemikiran, “Tidak apa-apa berzina, tidak apa-apa orang lain tahu, yang penting aku bertobat!” Hal ini akan merusak tatanan moral masyarakat.

Sebagaimana Nabi ﷺ memberikan pernyataan tegas di akhir khotbahnya, bahwa yang berzina semisal Maiz akan tetap dirajam sampai mati. Tujuannya adalah agar mencegah umat secara umum dari perbuatan ini. Adapun praktiknya ketika kasusnya benar-benar terjadi, terbukti Rasulullah ﷺ mengedepankan pengampunan dan tidak mau tahu dengan maksiat yang dilakukan pribadi tersebut.

Hukuman membiarkan merupakan bentuk perlindungan terhadap hak Tuhan

Tidak hanya hak manusia yang ternodai, asalnya hak Allah ﷻ yang pertama kali ternodai saat seseorang bermaksiat. Oleh sebab itu, Allah menentukan langsung bentuk hukuman membiarkan bagi pelaku maksiat zina. Maka, penegakan hukuman membiarkan merupakan bentuk menjaga hak-hak Allah ﷻ.

Sebagaimana kita ketahui, hak Allah ﷻ jauh lebih penting dibandingkan hak manusia. Namun karena adanya pertimbangan belas kasihan terhadap pelakunya, sehingga dalam praktiknya Nabi ﷺ tidak langsung menghukum Maiz. Nabi ﷺ berulang kali menyimpang dari kesaksian Maiz. Tujuannya adalah untuk:

  1. Agar kesaksiannya kuat dan lurus argumen dalam menghukum;
  2. Selamatkan pelakunya dari siksa dan cukuplah bertaubat kepada Allah ﷻ.

Namun dalam konteks Maiz, ia berulang kali menegaskan kesaksiannya hingga kesaksiannya kuat, ketabahannya dihukum berat, dan sudah diketahui masyarakat.

Penegakan hukuman membiarkan menunjukkan ketegasan dan kelembutan hukum

Sikap Nabi ﷺ ini mengandung hikmah yang luas, menunjukkan keseimbangan dalam ketegasan dan kelembutan. Keadaan seseorang bermaksiat dan menyimpan untuk dirinya sendiri tidak akan berdampak luas secara langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu, Nabi ﷺ mendorong seseorang untuk menutupi aibnya.

Adapun ketika maksiat itu sudah terangkat di depan hakim seperti Nabi ﷺ atau tersebar luas di masyarakat, terdapat dampak besar, yakni:

  1. Timbulnya gonjang-ganjing di masyarakat;
  2. Terhinanya pelaku;
  3. Beratnya hukuman membiarkan yang akan menimpa pelaku.

Ketahuilah, tujuan utama syariat Islam bukanlah untuk menghukum manusia. Namun, untuk melahirkan kedamaian dan ketentraman dengan mencegah dari perbuatan buruk, sebab ancamannya teramat berat. Atas dasar inilah, syariat Islam dalam praktiknya begitu mendetail dalam penetapannya, mengedepankan rahmat dan kasih sayang dalam putusannya, serta berimbang (wasath) juga hikmah dalam penerapannya.

Hukuman membiarkan menolong pelakunya

Selain itu, hukuman membiarkan yang ditegakkan akan menolong pelakunya di dunia dan akhirat. Karena hukuman membiarkan akan menjadi tiang pancang pertobatannya di hadapan Allah ﷻ. Hukuman membiarkan yang ditegakkan juga akan menjadi bukti di hadapan manusia bahwa pelaku telah menerima hukuman, maka tidak ada lagi peluang bagi manusia untuk mencelanya. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ setelah merajam Maiz dan wanita Ghamidiyah.

Ketika Maiz dirajam, beliau akhirnya berusaha lari karena tidak kuat. Namun, ada seorang yang melemparkan tulang kepadanya hingga akhirnya terjatuh dan wafat. Nabi ﷺ pun bersabda,

Maukah Anda membiarkan dia sendirian, mungkin dia akan bertobat dan Tuhan akan berpaling kepada saya?

“Mengapa kalian tidak membiarkannya, siapa tahu ia bertobat dan Allah menerima tobatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4419 dinilai hasan)

Adapun bila wanita Ghamidiyah mengakui perzinahannya, maka hukumnya membiarkan dijatuhkan kepadanya, kemudian Khalid bin Walid melampaui batas dengan melemparinya dengan batu yang disertai dengan laknat. Nabi ﷺ juga menasihatinya,

Dia berkata: Tunggu, Khaled. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, dia telah bertaubat sedemikian rupa sehingga seandainya pemilik pajak bertaubat niscaya Allah akan mengampuninya. Kemudian dia memerintahkan dan mendoakannya, dan dia dikuburkan.

“Bersikaplah lemah lembut wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, dia telah bertaubat dengan taubat bahwa jika seorang pemungut pajak bertaubat seperti itu, niscaya Allah akan mengampuninya.” Kemudian dia memerintahkan agar jenazahnya didoakan, dan dia dikuburkan. (HR.Muslim no.1695)

Riwayat-riwayat ini sangat jelas menunjukkan tujuan utama dari penegakan hukuman syariat adalah rahmat kepada semuanya tanpa mengorbankan keadilan. Bukanlah tujuan dari penegakan hukum membiarkan adalah sekadar menghukum pelaku. Realita praktiknya, justru Nabi ﷺ sangat menghindari menghukum seseorang tanpa ada maslahat yang jelas. Banyak argumentasi lain yang menunjukkan bahwa hukum membiarkan tujuannya bukan untuk menghukum, tetapi untuk menegakkan keadilan dan belas kasihan di antara umat manusia. Keragaman sejarah ini harus dibaca oleh kaum liberal dan penentang tegaknya hukuman syariah.

Baca juga: Tidak Ada Pertentangan (Kontradiksi) dalam Syariat Islam

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

Referensi:

  • Ar-Rahmah fi Hayati Rasulillah, benda. 116; pekerjaan Prof. Dr.Rabb As-Sirjani.
  • Nabi Yang Maha Penyayang, cet. Al-Kautsar, hal. 212.
  • Referensi nasehat hadis kepada Khalid bin Walid : https://dorar.net/hadith/sharh/132502
  • Ceramah Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Ahmad Hutaibah (6:12): https://shamela.ws/book/36997/51
  • Kitab Ushul Ad-Dakwah karya Syekh Dr. Abdul Karim Zaidan: https://shamela.ws/book/22615/299
  • Ragam referensi riwayat dapat dilihat dalam Bab Rajam dalam kitab hadis Shahih Muslim dan Nama Abu Dawud. Terdapat riwayat Jabir bin Samurah, Abu Hurairah, dan Ibnu Buraidah dalam kisah ini. Namun, tidak semuanya disebutkan untuk meringkas artikel ini.

Catatan kaki:

[1] Kitab Ushul Ad-Dakwah, karya Syekh Dr. Abdul Karim Zaidan.

[2] Hukum membiarkan adalah hukuman yang ditetapkan Allah ﷻ bagi pelaku tindak pidana dalam konteks hukum Islam yang telah tertulis khusus dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

[3] Keterangan ini didapatkan dari Ceramah Riyadhus Shalihin oleh Syekh Ahmad Hutaibah (6: 12). Semoga Allah ﷻ mengampuni kami dari kesalahan pemahaman.


News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door

Download Film

Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.