Fikih hibah (tas. 2)

Konsep hibah dalam kehidupan sosial Islam

Setelah mengetahui secara singkat pengertian hibah; baik dari segi bahasa ataupun syariat pada artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa hibah (Hadiah) berarti “memberikan sesuatu secara cuma-cuma dan sukarela, tanpa ada imbalan dan paksaan selama pihak pemberi masih hidup.” Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah Rahimahullah Dalam bukunya, Al-Mughni. Katanya,

Jaga hidup tanpa kompensasi

“Hibah adalah pemberian hak milik selama pihak pemberi masih hidup tanpa imbalan. (Al-Mughni, 8: 239)

Jika melihat lebih jauh, syariat hibah memiliki dampak yang sangat kuat dalam kehidupan sosial Islam, hibah bukan sekadar pemberian biasa. Ia adalah simbol kasih sayang, solidaritas sosial, dan distribusi kekayaan secara adil di antara masyarakat. Hibah mendorong seorang muslim untuk tidak tamak terhadap harta, peduli dengan orang lain serta menghilangkan kecemburuan sosial karena terjadinya pemerataan harta secara sukarela.

Hibah juga mempererat hubungan sosial dan ukhuwah; terutama dalam keluarga, tetangga, dan komunitas masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda,

Anda ingin mencintai

“Salinglah kalian memberi hadiah (hibah), maka kalian akan saling mencintai.” (Jam. Bukhari di Al-ayb al-Mufrad, no. 594. Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Hadis ini menjelaskan bahwa hibah adalah media sosial yang menguatkan ikatan emosional dan menghapus permusuhan. Oleh karena itu, Islam tidak sekadar memerintahkan infak dan zakat, tetapi juga mendorong pemberian hibah secara pribadi dan sukarela.

Dalam Al -Qur’an, Allah Kisah juga menyebutkan konsep dan dampak baik dari hibah. Tatkala Allah mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan maskawin kepada perempuan yang dinikahinya, Allah Kisah berfirman menyebutkan bahwa apabila perempuan tersebut berkehendak untuk memberikan kembali maskawin tersebut sebagai bentuk pemberian kepada suaminya, maka sang suami diperbolehkan untuk mengambilnya dan memanfaatkannya,

Untuk Anda, Anda memiliki sesuatu untuk Anda jiwa.

“Tetapi jika mereka dengan rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah (ambillah) sebagai sesuatu yang nikmat lagi baik.” (Qs. An-Nisa: 4)

Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian (hibah) yang dilakukan dengan kerelaan hati, maka hukumnya halal dan diberkahi, bahkan diperbolehkan untuk dinikmati oleh penerima.

Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa hibah merupakan instrumen sosial yang sangat ditekankan dalam Islam karena mengandung nilai ibadah, solidaritas, dan keikhlasan. Ia mengangkat martabat sosial dan memperkuat tatanan masyarakat Islam yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan.

Urgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalah

Dalam Islam, hibah termasuk dalam ranah muamalah, urusan duniawi yang memiliki implikasi hukum. Akad hibah memindahkan kepemilikan harta dan berpotensi menimbulkan perselisihan jika tidak dikelola dengan benar.

Sudah begitu banyak cerita yang beredar akan bagaimana sebuah proses hibah yang bertujuan baik pada akhirnya justru menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Hal ini karena minimnya ilmu tentang fikih hibah dan terjadinya kesalahan dalam prosesnya. Berikut adalah beberapa alasan kuat seorang muslim wajib mengetahui seluk beluk mengenai hibah dalam kacamata hukum Islam, sehingga dalam prosesnya dapat sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi Shoullahu ‘alaihi wasallam.

Hibah dapat menyebabkan perselisihan hukum saat tidak dicatat atau disalahgunakan

Dalam Islam, proses akad memiliki berbagai aturan yang wajib dilakukan sehingga akad tersebut menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini berlaku juga untuk akad hibah, dalam prosesnya membutuhkan pencatatan dan kepastian. Allah Kisah dikatakan,

O, mereka yang aman, saat Anda berada dalam agama dengan nama nama

“O, kamu yang percaya, ketika kamu tidak memiliki uang tunai untuk sementara waktu ketika kamu ditentukan, kamu harus menulisnya.” (Qs. Al-Baqarah: 282)

Meskipun ayat ini berbicara tentang utang piutang, prinsip pencatatan dan kepastian hukum juga relevan bagi hibah, terutama dalam konteks hibah bersyarat atau hibah dalam jumlah besar (seperti hibah tanah dan rumah). Maka, pencatatan dapat mencegah konflik di masa depan.

Islam begitu tegas menyikapi konflik dan perselisihan, melarang terjadinya hal tersebut dan memberikan solusi yang jelas apabila hal tersebut terlanjur terjadi. Allah Kisah dikatakan,

Hei, yang adalah orang yang percaya, melihat Tuhan, dan mencari utusan, dan wali dari Anda dari Anda, Anda percaya kepada Tuhan dan hari yang baik

“Wahai kamu yang percaya, mematuhi Allah dan mematuhi utusan -Nya, dan Ulil Amri (Cendekiawan dan Umaro) di antara kamu. Maka jika Anda memiliki pendapat yang berbeda, maka kembalikan ke Allâh (Al -Qur’an) dan utusan, jika Anda benar -benar percaya pada semua dan kemudian.” (Qs. An-nisâ ‘: 59)

Dengan mengetahui hukum-hukum terkait fikih hibah, maka akan meminimalisir terjadinya pertikaian, sengketa, dan perselisihan di antara kaum muslimin.

Terkait dengan hukum hukum ahli waris jika dilakukan oleh kematian

Di antara kasus yang banyak terjadi adalah pembagian harta yang dilakukan oleh orang tua sebelum meninggal dunia. Terkait hal ini, maka perlu pembahasan mendalam, karena berkaitan erat dengan hukum waris yang ketentuan dan porsinya harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Berpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibah

Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan,

Ayah saya memberi saya hadiah, dan Umrah berkata: Saya tidak akan puas sampai utusan Allah, semoga doa dan kedamaian Tuhan ada di atasnya umrah bennah adalah pemberian, jadi saya memerintahkan saya untuk bersaksi, hai utusan Tuhan, dia berkata: Apakah Anda memberikan jalan -jalan anak -anak Anda seperti ini? Dia berkata: Tidak

“Ayah saya memberi saya hadiah (seorang penolong yang ditanya oleh ibu An-Nu’man), dan Amrah Bint Rawahah (ibu dari an-nu’man) berkata,” Saya tidak ingin bertanya kepada Nabi Sallallaahu Alaihi Wasallam sebagai saksi. “Jadi dia (ayahku) datang ke nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata,” Sesungguhnya aku memberikan putraku dari putri Amrah dari Rawahah (Bunda An-Nu’man), dan dia menyuruhku meminta kamu untuk menjadi saksi, wahai utusan Allah. “Dia berkata,” Apakah kamu memberikan semua anak-anakmu seperti ini? “

Jadi Nabi Muhammad berkata,

Takut Tuhan dan Sesuaikan Anak Anda

“Takutlah Allah dan lakukan hidupmu di antara anak -anakmu.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)

Hadis ini berkaitan dengan kasus hibah yang dilakukan kepada salah satu anak secara berat sebelah. Rasulullah ﷺ menegur perbuatan tersebut dan menyuruh untuk membatalkannya jika tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa hibah memiliki konsekuensi hukum, dan pembahasannya harus serius dalam fikih.

Tiga hal ini cukup menjadi alasan bagi kita akan pentingnya pembahasan fikih hibah secara menyeluruh dan mendalam, agar masyarakat tidak sekadar mengikuti adat atau keinginan hawa nafsu pribadi, tetapi memahami batasan syariat dan mengikuti hukum syariat yang telah ditetapkan.

Urgensi membahas hibah dalam fikih muamalah tidak bisa diabaikan karena hibah bukan hanya urusan pribadi, tapi berdampak pada keadilan hukum, keharmonisan keluarga, dan kestabilan sosial. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui batasan hukum hibah agar dapat mengamalkannya secara syar’i dan adil. Wallahu A’lam Bissowaab.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1

***

Penulis: Muhammad Idris, LC.

Artikel Muslim.or.id


News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door

Download Film

Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.