Fikih Hibah (Tas. 5)

Hibah merupakan salah satu cara Islam mengajarkan kita untuk saling berbagi dan mempererat hubungan. Namun, dalam praktiknya tidak jarang muncul persoalan ketika pemberi hibah ingin menarik kembali pemberiannya dengan berbagai alasan, seperti kebutuhan mendesak karena rasa tidak adil dalam pemberian kepada anak-anak, atau karena adanya perubahan hubungan sosial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah Islam memperbolehkan penarikan kembali hibah tersebut? Ataukah pemberi harus merelakan sepenuhnya hak kepemilikannya yang sudah diberikan?

Masalah ini penting untuk dibahas karena menyangkut dua hal utama:

Pertama: Pentingnya menjaga janji yang sudah dilakukan oleh pihak pemberi dalam sebuah akad (dalam hal ini adalah akad hibah).

Kedua: Memastikan keadilan dalam keluarga maupun masyarakat.

Jika hibah dapat ditarik kembali dengan mudah, akan muncul ketidakpastian dan masalah baru. Di sisi lain, ada keadaan tertentu yang membuat penarikan hibah mungkin perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, para ulama dari empat mazhab besar memberikan penjelasan rinci agar umat Islam memiliki pegangan yang jelas dalam menghadapi masalah ini.

Penjelasan ulama mazhab terkait penarikan hibah

Sheikh Wahbah Az-Zuhaily dalam bukunya, Al-Fiqhu al-Slaami, Tulis dan sertakan bagi kita kata -kata para sarjana sekte tentang ini.

Para sarjana sekte Hanafi mengatakan bahwa konsekuensi hukum hibah: hak kepemilikan orang yang telah diberi hibah terhadap benda yang dihibahkan tidaklah mengikat, Jadi pemberi dapat menarik hadiahnya dan membatalkannya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

Donor layak atas nyala api kecuali terbukti

“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibah yang dia berikan selama orang yang diberi belum membalasnya. (Diceritakan oleh Ad-Daraqutni, 3: 44 dan al-BihaHaqi no. 12382. Ibn Hajar al-Asqalani dalam bukunya, Al-Thekhiis al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini Mauquf Ke Umar bin Khattab, bukan kata nabi)

Maksudnya adalah selama tidak ada pemberian balasan dari orang yang diberi.

Dalam hadis di atas, utusan Allah (benar adalah kata Umar bin Khattab) membuat pemberi lebih berhak atas apa yang dia berikan selama orang yang diberikan tidak menanggapi hadiahnya. Dan hadis ini menurut sekte Hanafi Nash (dalil tekstual) dalam permasalahan ini.

Penyedia dapat menerima hibahnya selama tidak ada jawaban, bahkan jika itu telah diterima atau diambil oleh orang yang diberikan.

Adapun mayoritas ulama, mereka berpendapat bahwa akad hibah bersifat mengikat, Kecuali hadiah ayah kepada putranya, sehingga seorang ayah dapat mengambil kembali hadiahnya sebelum putranya menerima atau menerima pemberian.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

Kembali dalam nyala api itu seperti kembalinya muntahnya

Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.(HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)

Nabi Shoullahu ‘alaihi wasallam Juga katakan,

Kami tidak memiliki contoh kejahatan, yang kembali dalam nyala api, seperti anjing, ia kembali dalam muntahnya.

“Kita tidak memiliki permisalan dan perumpamaan yang buruk, orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti anjing yang memakan kembaIi muntahannya.(Jam. Bukhari no. 2622)

Maksudnya, tidak sepantasnya bagi kita, wahai orang-orang yang beriman, untuk memiliki sifat tercela yang menyerupai hewan yang paling hina. Jarang sekali perumpamaan seperti ini datang dalam syariat, yang menunjukkan betapa buruknya perbuatan ini. Perumpamaan ini menggunakan muntah, bukan hal haram lainnya, untuk menunjukkan betapa buruknya perbuatan tersebut.

Sama seperti jiwa kita tidak suka mengkonsumsi muntah kita, untuk jijik dan menganggapnya kotor, demikian juga jika jiwa kita tidak suka dan menghindari tindakan menarik kembali hadiah.

Nabi Shoullahu ‘alaihi wasallam Juga pernah berkata,

Tidak diizinkan bagi siapa pun untuk memberikan hadiah itu, jadi dia kembali ke dalamnya kecuali ayah dalam apa yang memberi putranya, dan hal yang sama adalah orang yang memberikan hadiah dan kembali di dalamnya, seperti yang dimakan anjing, bahkan jika dia penuh pertemuan, maka dia kembali dan kembali dalam muntahnya muntahnya

Tidak sah bagi seseorang untuk memberi, dan menariknya kembali, kecuali untuk orang tua dari apa yang dia berikan pada putranya. Perumpamaan tentang orang yang memberikan hadiah dan menarik kembali seperti anjing yang memakannya sepenuhnya, dan muntah, lalu menjilat muntahnya.(HR. An-Nasa’i no. 3705. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Pengecualian bagi orang tua untuk menarik kembali hibah kepada anaknya yaitu apabila orang tua tidak memberikan bagian yang sama kepada semua saudaranya seperti itu. Dia boleh menarik kembali hibahnya, karena tidak halal baginya untuk memberikan kepada salah satu anak tanpa memberi anak yang lain. Hal ini sudah pernah kita bahas sebelumnya dalam hadis Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhuma.

Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa akad hibah mengikat kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pendapat di antara mereka terakait penerapannya. Dalam mazhab Maliki, orang tua boleh menarik kembali hibahnya sebelum diterima; sedangkan dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, orang tua boleh menarik kembali hibahnya bahkan setelah diterima. Hak tersebut menurut mazhab Syafi’i bahkan berlaku mutlak dalam setiap hibah yang diberikan dari jalur atas (orang tua dan kakek) kepada cabang (anak).

Mazhab Maliki juga memberlakukan lima syarat sahnya penarikan hibah dari seorang ayah kepada anaknya, yaitu:

1) Anak tersebut tidak menikah setelah diberi hibah itu.

2) Setelah diberi hibah, dia tidak berutang hingga waktu tertentu.

3) Pemberian itu tidak berubah dari kondisi aslinya.

4) Anak yang diberikan hibah itu tidak melakukan tindakan hukum terhadap sesuatu yang diberikan kepadanya.

5) Pemberi atau anak yang diberikan tidak sakit. Jika salah satu dari kelima terjadi, maka Ayah tidak dapat mengambil kembali hadiahnya.

Kesimpulan

Hibah ini dilakukan dalam rangka menumbuhkan kasih sayang dan rasa cinta. Adapun hibah yang murni untuk Allah Kisahyaitu yang disebut dengan sedekah, maka ia sama sekali tidak bisa diambil kembali. Pemberi juga hendaknya tidak mengambil pemberiannya kembali, baik dengan membelinya atau dengan cara yang lain. Jika pemberian itu berupa pohon, maka dia tidak boleh makan dari buahnya. Jika pemberian itu berupa seekor binatang tunggangan, maka dia tidak boleh menungganginya, kecuali jika kembali kepadanya dengan cara pewarisan.

Dari penjelasan keempat sarjana sekte, kita dapat memahami bahwa menarik hibah bukanlah masalah. Selain itu, ada hadis seorang nabi yang mengkritik masalah ini. Sheikh bin Baz Rahimahullah dalam salah satu kesempatan tanya jawab dengan kaum muslimin dan ini tercantum dalam kitab Farity Majom Dia ditanya tentang ini dan kemudian dia berkata,

Putusannya adalah bahwa ia adalah orang berdosa, dan ia harus bertobat dari itu, dan hadiah itu dikembalikan kepada pemiliknya

“Hukum (perbuatan menarik hibah) bagi pelakunya adalah berdosa, dan dia harus bertobat dari itu, serta mengembalikan kembali hibah itu kepada penerimanya.” (MajMu ‘Fatawa Wa Maqalat Shaykh Ibn Baz, 20: 67)

Pada dasarnya, hibah yang sudah diberikan tidak boleh diambil lagi karena Islam mendorong kita untuk menepati janji dan menjaga ketulusan dalam memberi. Namun, syariat juga memberikan kelonggaran dalam keadaan tertentu, terutama bagi orang tua terhadap anaknya, demi menjaga keadilan dan keharmonisan keluarga.

Dengan memahami aturan ini, kita bisa lebih bijak dalam memberi hibah. Sebelum memberikan sesuatu, sebaiknya dipikirkan dengan matang agar tidak menyesal di kemudian hari. Dan jika memang ada kebutuhan untuk menarik hibah, harus diperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan ulama agar sesuai dengan ajaran Islam. Dengan begitu, hibah benar-benar menjadi amal kebaikan yang membawa keberkahan, bukan sumber masalah atau perselisihan.

Atau sedikit Bisshaab

[Bersambung]

Kembali ke bagian 4

***

Penulis: Muhammad Idris, LC.

Artikel Muslim.or.id


News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door

Download Film

Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.