Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 6)

Prinsip kelima: Wajib bersikap jujur dan amanah, serta melarang terjadinya penipuan dan menyembunyikan realita (kebenaran)

Definisi jujur (ash-shidqu) dan amanah (al-amanah)

Secara bahasa, ash-shidqu (kejujuran) menunjukkan kekuatan dalam sesuatu, baik dalam hal perkataan, atau selainnya [1]. Kejujuran adalah lawan dari al-kadzib (kedustaan atau kebohongan) [2]. Jujur adalah kesesuaian antara pernyataan dengan realita (kenyataan) [3].

Adapun amanah dalam bahasa adalah lawan dari pengkhianatan. Maknanya adalah ketenangan hati, pembenaran [4], dan al-wafa’ (menepati janji atau melaksanakan isi perjanjian secara utuh) [5]. Amanah pada asalnya adalah hal yang bersifat maknawi (abstrak), kemudian digunakan dalam benda-benda secara majaz (kiasan). Maka, ‘titipan’ dikatakan, ‘amanah’, dan semacamnya [6].

Hukum jujur dan amanah dalam akad muamalah

Allah Ta’ala mewajibkan hamba-Nya untuk bersikap jujur dan amanah dalam semua urusan. Allah Ta’ala berfirman tentang kejujuran,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang sikap amanah,

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya … “ (QS. An-Nisa: 58)

Karena tujuan utama dari akad muamalah adalah untuk mencari laba atau keuntungan [7], sedangkan nafsu manusia sangat ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, maka hal itu mendorong mereka untuk berbuat kebohongan dan khianat dalam akad muamalah mereka. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersikap jujur, terus terang, dan amanah dalam muamalah. Allah Ta’ala berfirman,

فَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ

“Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan; dan janganlah kamu kurangi bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya … “ (QS. Al-A’raf: 85)

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ

“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya); dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Adapun hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah banyak dalam memerintahkan untuk bersikap jujur dan amanah dalam akad muamalah. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (hak memilih meneruskan atau membatalkan transaksi) selama mereka berdua belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling menjelaskan (keadaan atau kualitas barang), maka akan diberkahi dalam jual belinya. Namun jika keduanya menyembunyikan (cacat barang) dan berbohong, maka akan dihapus keberkahan jual belinya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)

Berdasarkan hadis di atas, kejujuran dan terus terang (bersikap apa adanya dalam menjelaskan keadaan dan kualitas barang tanpa dilebih-lebihkan) adalah sebab terbesar keberkahan dalam rezeki dan harta. Sedangkan sikap dusta dan menyembunyikan aib dan cacat barang (sehingga pembeli menjadi tertipu), merupakan sebab terbesar dicabutnya keberkahan dan juga sebab kerugian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan peringatan keras terhadap kebohongan dalam akad muamalah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang penipuan (ghisy). Dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ، قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan dipandang oleh-Nya, tidak akan disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengulanginya sebanyak tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, “Sungguh merugilah dan celakalah mereka. Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang menjulurkan pakaiannya (melebihi mata kaki), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 106)

Demikian pula, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada penjual makanan yang menyembunyikan aib makanan yang dijualnya,

مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ، مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

“Apa ini, wahai pemilik makanan?” Orang itu menjawab, “Terkena hujan, wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, “Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas agar bisa dilihat orang? Siapa saja yang menipu, maka ia bukan bagian dariku.” (HR. Muslim no. 102)

Hadis-hadis ini bersifat umum dalam melarang perbuatan menipu (ghisy) dalam semua bentuk akad muamalah, baik jual beli, sewa-menyewa, kerja sama bisnis, maupun yang lainnya. Dalam setiap transaksi atau akad muamalah, wajib bersikap jujur dan terus terang (menjelaskan kondisi barang sesuai dengan realita), serta dilarang melakukan penipuan dan menyembunyikan kebenaran. [8].

Kaidah bagaimana bersikap jujur dan amanah dalam akad muamalah

Kaidah umum yang menjadi standar dalam muamalah atas dasar kejujuran dan amanah adalah bahwa bahwa seseorang tidak mencintai bagi saudaranya kecuali apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri. Seseorang sepatutnya tidak memperlakukan orang lain dengan sesuatu yang ia sendiri tidak rela jika diperlakukan dengannya. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dia sendiri tidak suka diperlakukan dengannya, maka janganlah dia memperlakukan orang lain dengannya.

Al-Ghazali rahimahullah telah menjelaskan kaidah umum ini, “Adapun rinciannya, maka mencakup empat hal, yaitu (1) dia tidak memuji barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya; (2) dia tidak menyembunyikan cacat-cacatnya serta sifat-sifat tersembunyinya sedikit pun; (3) dia tidak menyembunyikan berat dan ukuran barang; serta (4) dia tidak menyembunyikan harga sebenarnya, yang jika diketahui oleh pembeli, niscaya pembeli tidak akan membelinya.” [9]

Ini adalah rincian umum yang mencakup semua yang seharusnya dijaga dalam kejujuran, kejelasan, dan amanah dalam muamalah. Maka, mewujudkan kejujuran dan amanah hukumnya wajib dalam akad muamalah. Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah melarang adanya ta‘ridh (kalimat bersayap, yaitu: makna yang ditangkap oleh lawan bicara berbeda dengan makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh orang yang berbicara) [10] dalam jual beli karena mengandung unsur penipuan dan tidak adanya kejelasan (ada sesuatu yang ditutup-tutupi dengan kalimat bersayap tersebut).

Hal ini tidak khusus hanya untuk jual beli, melainkan berlaku umum dalam semua jenis muamalah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ كُلَّ مَا وَجَبَ بَيَانُهُ فَالتَّعْرِيضُ فِيهِ حَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ كِتْمَانٌ وَتَدْلِيسٌ، وَيَدْخُلُ فِي هَذَا الْإِقْرَارُ بِالْحَقِّ، وَالتَّعْرِيضُ فِي الْحَلِفِ عَلَيْهِ، وَالشَّهَادَةُ عَلَى الْعُقُودِ، وَوَصْفُ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ، وَالْفُتْيَا وَالْحَدِيثُ وَالْقَضَاءُ

“Sesungguhnya segala hal yang wajib dijelaskan, maka menyamarkannya (dengan ta’ridh) hukumnya haram; karena hal itu termasuk menyembunyikan kebenaran dan penipuan. Termasuk dalam hal ini adalah pengakuan terhadap suatu hak, ta’ridh dalam sumpah, memberikan kesaksian atas suatu akad, menjelaskan sifat dari objek akad, fatwa, hadis, dan keputusan hukum (pengadilan).” [11]

Contoh penerapan sikap jujur dan amanah dalam akad muamalah

Berikut ini beberapa contoh penerapan kaidah ini dalam akad muamalah:

Pertama: Ditanyakan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah, “Saya membeli sebuah mobil, lalu saya menemukan ada kerusakan kecil di dalamnya. Lalu saya pun menjualnya tanpa memberitahukan pembeli tentang kerusakan tersebut. Apakah ini dianggap sebagai penipuan (ghisy) atau tidak?”

Jawaban Al-Lajnah Ad-Daimah,

نعم، يعتبر هذا غشا، ومعلوم أن الغش حرام؛ لما ثبت من قول النبي صلى الله عليه وسلم: من غشنا فليس منا ، وعليك أن تستغفر الله وتتوب إليه، وتبادر إلى إبلاغ المشتري وإعلامه بما كان في السيارة من الخلل؛ إبراء لذمتك، فإن تنازل عن حقه فالحمد لله، وإلا فاتفق معه إما على دفع مبلغ مقابل الخلل، أو أخذ السيارة ورد الثمن، وإن لم يتم التراضي فهي خصومة يفصل فيها قاضي جهتكم، وإن لم يتيسر لك معرفته فتصدق عنه بما يقابل الخلل.

“Ya, hal itu dapat dianggap sebagai suatu bentuk penipuan (ghisy). Telah diketahui bahwa hukum penipuan adalah haram, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa saja yang menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan kami.” Oleh karena itu, Engkau harus memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya, serta segera menghubungi pembeli dan memberitahunya tentang kerusakan yang ada pada mobil tersebut, agar terbebas dari tanggung jawab.

Jika ia merelakan haknya, maka alhamdulillah. Namun jika tidak, maka buatlah kesepakatan antara kalian berdua untuk memberikan sejumlah uang sebagai ganti rugi kerusakan, atau kembalikan mobil dan ambil kembali seluruh uangnya. Jika tidak ada kesepakatan, maka permasalahan ini harus diselesaikan oleh hakim pengadilan di tempat kalian. Dan jika kamu tidak dapat menemukannya (pembeli), maka bersedekahlah atas namanya dengan jumlah yang setara dengan nilai kerusakan tersebut.” [12]

Kedua, ditanyakan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah, “Ada seorang pedagang yang menerima buah-buahan dari para petani untuk dijual. Pedagang tersebut mengetahui bahwa para petani telah melakukan kecurangan dengan meletakkan buah-buahan yang besar di bagian atas dan yang kecil di bagian bawah. Apakah mereka berdosa atau tidak? Apa yang seharusnya dilakukan oleh pedagang tersebut dalam keadaan seperti ini?”

Jawaban Al-Lajnah Ad-Daimah,

على البائع مناصحة المزارعين، وتحذيرهم من الغش، لعل الله أن يهديهم، وعلى البائع أن يذكر ما في السلعة من عيب عند البيع، فإن لم يفعل أثم

“Pedagang wajib menasihati para petani dan memperingatkan mereka dari perbuatan curang (ghisy), semoga Allah memberi mereka petunjuk. Pedagang juga wajib menyebutkan cacat atau kekurangan yang ada pada barang (buah-buahan) ketika menjualnya. Jika ia tidak melakukannya, maka ia (juga) berdosa.” [13]

Ketiga, ditanyakan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah, “Jika memungkinkan untuk mematangkan warna buah secara buatan dengan cara memanaskannya, apakah hal itu diperbolehkan? Perlu diketahui bahwa tujuannya adalah untuk mempercepat proses pematangan agar bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi.”

Jawaban Al-Lajnah Ad-Daimah,

لا يجوز ذلك؛ لما فيه من الغش بإظهار الزهو على غير حقيقتها

“Hal itu tidak diperbolehkan, karena termasuk perbuatan curang (ghisy) dengan menampilkan kematangan warna buah yang tidak sesuai dengan kenyataannya.” [14]

[Bersambung]

Kembali ke bagian 5

***

@Unayzah, KSA; 26 Zulkaidah 1446/ 24 Mei 2025

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 588.

[2] Lihat Lisanul ‘Arab, 10: 193.

[3] Lihat At-Tauqif ‘ala Muhimmat At-Ta’arif, hal. 450.

[4] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 88-89 dan Lisanul ‘Arab, 13: 12.

[5] Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 28.

[6] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 94.

[7] Lihat Takhrijul Furu’ ‘alal Ushul, hal. 240.

[8] Lihat Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 116.

[9] Lihat Ihya’ Ulumuddin, 1: 75.

[10] Ta‘ridh dalam ucapan adalah menyampaikan maksud secara tidak langsung atau tersirat, yaitu dengan menggunakan kata-kata bersayap yang bisa dipahami dalam lebih dari satu makna, di mana maksud sebenarnya tersembunyi dan hanya dipahami oleh orang yang mengerti konteks atau petunjuknya. Lawan bicara memahami bahwa maksudnya A, namun yang dimaksudkan sebenarnya oleh orang yang berbicara adalah B.

Contoh dalam jual beli, penjual mengatakan, “Harga pas, saya jual segitu juga ke orang lain.”

Penjual mengatakan ini agar pembeli percaya tidak ada mark-up harga. Padahal yang sebenarnya, harga barang sudah dinaikkan; atau sebelumnya tidak ada orang yang membeli dengan harga itu. Ucapan itu mengandung unsur membangun kesan palsu. (Lihat penjelasan tentang masalah ta’ridh ini di Lisanul ‘Arab, 7: 183 dan An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 3: 212)

[11] I’lamul Muwaqi’in, 3: 247.

[12] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, 13: 204 (Asy-Syamilah).

[13] Idem, 13: 212 (Asy-Syamilah).

[14] Idem, 13: 216 (Asy-Syamilah).



Game News

Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime

Gaming Center

Gaming Center

Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.